Jakarta, LiputanNusa.id- Perlakuan khusus yang diberikan lembaga peradilan terhadap Shirly Prima Gunawan selaku terdakwa perkara dugaan penipuan, penggelapan, dan pemalsuan terkait surat izin usaha perdagangan (SIUP) membuat pihak kuasa hukum korban meminta Lembaga peradilan untuk konsisten dalam menerapkan kesetaraan sebelum keadilan atau equality before the law.
Sebelumnya terdakwa ditahan di rutan oleh pihak kejaksaan. Pada sidang pertama terdakwa langsung ditetapkan menjadi tahanan rumah oleh majelis hakim.
Menanggapi hal tersebut, pihak kuasa hukum korban mempertanyakan kapan surat permohonan untuk menjadi tahanan rumah dikirimkan.
Kubu pelapor Rizky Ayu Jessica juga memprotes pengabulan permohonan tahanan rumah terhadap terdakwa Shirly oleh Pengadilan Jakarta Selatan yang dinilai tidak menerapkan asas Equality Before The Law.
Kuasa hukum mempertanyakan kapan pengiriman surat permohonan itu, kapan dibaca, kapan dimusyawarahkan, dan kapan dinilai oleh Majelis Hakim atas perkara nomor: 136/Pid.B/2023 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai oleh Hakim Samuel Ginting, bahwa terdakwa layak menjadi tahanan rumah. Sedangkan di sidang pertama terdakwa sudah langsung ditetapkan menjadi tahanan rumah.
Menurut Martin Lukas Simanjuntak selaku kuasa hukum dari Pelapor proses seperti itu sejatinya hampir mustahil terjadi. Dia menduga ada perlakuan khusus oleh pihak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap terdakwa Shirly Prima Gunawan.
“Maka dari ini, saya meminta kita semua ya kita terapkan lah benar-benar asas equality before the law, jangan kita menganggap itu hanya sebagai bacaan doang di dinding,” kata kuasa hukum Rizky, Martin Lukas Simanjuntak di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (3/8).
“Kemudian, saksi ahli pidana yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) ditolak oleh hakim. Padahal sesuai KUHAP pasal 160 huruf c, dalam hal ada saksi baik yang memberatkan atau meringankan terdakwa yang diminta selama persidangan atau sebelum putusan maka hakim ketua wajib mendengar kesaksiannya,” lanjut Martin Lukas Simanjuntak.
Selain komitmen melakukan supervisi pada setiap agenda persidangan, Martin dan tim kuasa hukum korban akan bersurat kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY), serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turut memantau jalannya persidangan agar persidangan dapat berjalan dengan profesional dan objektif.
Kasus ini berawal dari adanya jaminan bisnis tas bermerek sebesar Rp18 miliar melalui surat pernyataan hutang yang akhirnya tidak terealisasikan pembayarannya. Terdakwa Shirly Prima Gunawan memberikan bilyet giro atau giro kosong atau ditolak oleh otoritas Bank.
SIUP palsu yang digunakan oleh terdakwa Shirly Prima Gunawan dibuat seolah-olah terdakwa memiliki toko tas mewah sebagaimana yang tercantun pada SIUP tersebut. Ternyata setelah dilakukan pengecekan, SIUP itu ternyata palsu dan tidak pernah dikeluarkan oleh Kecamatan Kelapa Gading dan toko tas tersebut juga bukan milik terdakwa.
Akibat tindakan terdakwa, korban mengalami kerugian sebanyak 17 tas branded dengan merek Dior, Hermes, Chanel dan lainnya sesuai yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Perkara Pidana Nomor 136/Pid.B/2023/PN. JKT SEL. Perkara ini menyebabkan korban mengalami kerugian secara materill dan imateriil. (Tj.Foto:dok.pribadi)